Jumat, 08 Desember 2017

, ,

Ingatan tentang Ibu dan Grup Qasidah Nasida Ria

Kemarin aku mendapati postingan mengenai lagu-lagu futuristik Nasida Ria yang dishare oleh senior Edukasi, Mas Fahmi dan Mas Aziz di timeline teratas Facebookku. Setelah membuka link tersebut dan membacanya, seketika itu aku teringat oleh Almarhumah Ibu. Disamping aku rindu yang teramat dalam sebab sudah hampir dua tahun ibu meninggalkanku, aku teringat kalau ibu adalah penggemar Nasida Ria.

Aku tahu kegemaran ibu kepada grup qasidah asal Semarang ini karena di rumah terdapat kaset pita Nasida Ria. Aku tidak tahu persis jumlahnya. Namun setelah mempunyai CD-DVD Player, yang kuingat terakhir Bapak pernah membeli DVD Album 'Anakku'. Kalau tidak salah. Namun sepertinya kaset pita dan DVD-nya sudah pada rusak karena tidak pernah di-play dan tidak terurus dengan baik, atau bahkan di rumah sudah tidak ada, lenyap entah kemana. Wajar, sekarang jadi anak rantau yang agak jauh dari orang tua. Maka dari itu, aku tidak bisa memastikan.

Pernah ketika aku masih duduk di bangku Raudhatul Athfal (RA) tahun 2004 diselenggarakan lomba karaoke saat HUT RI. Karena aku ditunjuk oleh Ibu Guru untuk mewakilinya. Entah atas dasar apa ibu Guru memilihku. Padahal aku sadar, aku tidak mempunyai suara bagus dan patut untuk mewakili sekolah. Ibuku merekomendasikan untuk menyanyikan lagu 'Kota Santri'. Entah karena lagu-lagu Nasida Ria memang lagi booming kala itu, atau sekadar pilihan subyektif ibuku, aku tidak tahu. Sebagai anak yang  masih oplah-oploh dan polos kala itu, (ya, meskipun sampai sekarang masih oplah-oploh, tapi ya mending lah), aku nurut saja dengan kemauan Ibu. Sepertinya itu bukan hal yang hanya sekali kulakukan. Demikian pula saat duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI). Karena kebetulan dari RA-MTs kumenimba ilmu di lembaga yang sama. Iya, ini adalah kenangan yang berulang-ulang. Nah, dapat satu bukti lagi kan, kalau ibuku penggemar Nasida Ria.

Beranjak remaja, kalau tidak salah mulai dari kelas V, aku mulai akrab dengan internet. Aku gemar menonton video di Youtube. Pulang sekolah sering melipir ke warnet untuk sekadar nonton serial kartun, atau browsing gambar-gambar kartun di Google Image. Dulu tontonanku adalah serial kartun di Lativi yang tayang pagi hari, setelah subuh hingga sebelum berangkat sekolah. Misalnya, Strawberry Shortcake, Franklin si Kura-Kura, dan Blue's Clues dengan jejak kakinya.

Setelah aku punya laptop dan modem aku jadi jarang ngilang dari rumah untuk pergi ke warnet berjam-jam lagi. Aku bisa mengakses internet di rumah. Dari situlah ibuku mulai agak tertarik memanfaatkanku. #eh. Wajar, ibuku saja tidak bisa mengoperasikan HP. Apalagi laptop. Jadi putrinya harus mengalah. Hampir setiap hari, kalau ibuku luang aku disuruh mengakses laman berita. Terutama informasi lokal, jadi aku sering ngepoin website berisi berita terkait Bojonegoro dan sekitarnya. Kalau punya paketan internet yang lumayan, baru kubisa membuka Youtube, lagi-lagi ibuku sering menggangguku. "golekke video Nasida Ria."

Saat itu di Youtube agak susah cari video Nasida Ria. Kalaupun ada kualitasnya videonya jelek. Pun aku sempat punya banyak MP3 Nasida Ria di memory cardku yang sekarang hilang. Lagi-lagi itu karena permintaan ibuku. Beliau juga hafal nama-nama personel Nasida Ria generasi pertama. Saat memutar video yang entah apa judulnya, aku lupa, ibuku bilang, "Wah, ternyata wis beda generasi. Golekke video sing biyen-biyen a". Duh, ibukku riwil, batinku.

Saking seringnya aku disuruh browsing lagu-lagu lawas, terutama Qasidah Nasida Ria, sampai-sampai aku bertanya, "Buk, kenapa tah remen lagu Nasida Ria?." Dengan singkat Ibu menjawab, "Apik. Realistis. Zaman saiki nyatane kayak ngunuiku kabeh a kejadiane?." Entah apa tanggapanku dulu. Lagi-lagi aku tidak mengingatnya secara penuh. Pun aku baru ingat dan sadar saat kubaca artikel kemarin. "Jebul, Ibukku nate sanjang ngeten." Batinku pasca membaca artikel di laman vice.com.

Kukira cerita di atas cukup menjadi bukti kalau ibuku penggemar Nasida Ria. Namun menurutku belum sampai kadar maniak, sih. (Aku tidak tahu sebutan khusus fans Nasida Ria).

Andaikan beliau masih ada, sekarang aku mau bilang, “Ibu, aku kangen disuruh browsing videoclip Nasida Ria di Youtube. Hehehe.”

Jujur, aku senyum-senyum sendiri saat menyelesaikan tulisan absurd ini. Flashbacknya gini amat ya.
Terimakasih sudah membaca.[]

NJUT! Ingatan tentang Ibu dan Grup Qasidah Nasida Ria

Jumat, 20 Oktober 2017

, ,

Kenapa Harus Membaca?

Dicomot dari Internet
"Membaca itu seperti menjelajah" - begitulah kata penulis kenamaan Indonesia, Eka Kurniawan.

Membaca tidak sekadar mengantarkan kita untuk tahu bahwa sebuah karya akan membuat kita bertemu dengan karakter yang berbeda atau membawa kita ke tempat lain. Tapi sering kali kita menemukan pengalaman dari membaca karya tertentu, dari pengarang tertentu, yang berada di luar apa yang kita asumsikan sendiri.

Jika membaca itu seperti menjelajah, berarti saat kita membaca setiap lembar buku sama halnya dengan satu langkah dalam penjelajahan. Its mean, how to travel in time? READ.

Ngomong-ngomong soal kegemaran membaca, pastinya aku gak mak bedunduk bisa membaca sejak lahir. Aku tidak terlahir dari keluarga yang intelektualis, doyan baca, dan menekankan untuk rajin membaca. Orang tuaku tidak memberi fasilitas yang demikian. Kalau ditanya apa penyesalanku dalam hidup? Di list itu salah satunya aku akan menulis "aku tidak gemar membaca sejak dini". Aku baru kepikiran untuk membaca saat SMA. Itu pun gara-gara tugas resensi buku mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang mengharuskanku untuk masuk perpustakaan dan mencari novel di sana. Namun, setelah menghabiskan satu novel, ternyata ketagihan. (Jadi ingat PJTD LPM Frekuensi kemarin, salah seorang kru magang menuliskan motivasinya, "Menulis itu seperti memandangmu, candu". Iya. Bagiku, begitu pula dengan membaca). Lalu kebiasaanku yang semula kalau jam istirahat hanya melipir ke kantin, berubah ke perpustakaan untuk meminjam novel. Akhir masa putih abu-abu, aku jadi sering ke toko buku. Mulai menyisihkan uang saku yang tak seberapa, bahkan sering merayu ibuku untuk membeli buku incaran. Kala mengeluarkan jurus merayu, dengan nada khasnya almarhumah ibuku pasti menanyaiku "tuku buku terus, mbe woco temenan tah gak?".

Lain lagi ceritanya saat sudah masuk perguruan tinggi. Aku sudah tidak bisa lagi menodong ibu agar diberi uang untuk beli buku. Padahal hasrat membeli dan bahkan membaca --dan menimbun--  buku semakin kuat. Lagi-lagi menyisihkan uang saku adalah cara terbaik. Selain itu, kalau kehabisan bacaan, selalu ada teman yang baik yang bukunya bisa dipinjam. Makasih banyak buat yang sering meminjamiku buku. Maafkan aku yang sering nodong minta asupan bacaan. Aku peminjam yang baik kok. Haha. Makasih juga buat yang sering merekomendasikan untuk baca e-book. Tapi, maaf aku belum betah berlama-lama memegang gawai untuk baca e-book. Lain cerita kalau baca dan balas chat dari kamu, Eaaa :v (kalimat terakhir HOAX!)

Tapi aku sering galau perihal apa yang kubaca. Sering kali minat membeli --untuk ditimbun-- buku-buku rupanya nggak berbanding lurus dengan minat membacanya. Aku sering ditanya sama orang di sekitarku, suka baca buku apa? Dengan ketus aku menjawab, "Embuh. Angger moco.". Tapi nyatanya kadang tidak demikian. Kadang muncul penyakit ketika Agumon berevolusi jadi Greymon--pembaca segala berubah jadi pembaca yang selektif. Selain itu, aku juga sering curhat ke seseorang tentang keresahanku membaca, "Aku ini gak bisa menangkap pengetahuan yang ada di buku secara menyeluruh. Aku nggak suka kalau tahu tentang suatu hal itu setengah-setengah. Apa aku sekalian nggak usah membaca saja ya?". Haha. Dasar labil. Mungkin lebih tepatnya mood lah yang memengaruhi keinginan membacaku. Misalnya, akhir-akhir ini. Entah kenapa pengin cari bacaan tentang agraria dan novel young adult, tentang cinta-cinta gitulah. (Belum terpenuhi. Kalau kamu punya, bolehlah kupinjam? =D )

Aku sadar, masuk fase  'bukan selera saya' atau dalam istilah kids zaman now  disebut  dengan 'not my cup of tea' nyatanya tidak baik. Jika buku adalah jendela dunia maka memilih-milih genre bacaan berarti sama halnya dengan menutup beberapa jendela untuk melihat dunia luar, bukan? Jadi, aku mengeset ulang tujuan membaca. Membaca tanpa pretensi apa-apa. Malah sering berpikiran, sing penting aku seneng. Jadi jangan sensi kalo tanya perihal genre bacaan dan kujawab seperti yang telah kujelaskan di atas, ya. Misal, Aku membaca How Rules the World - Noam Chomsky hari ini, besoknya baca karya Dijah Yellow yang tempo hari viral di twitter ya sah-sah saja.

Oh, iya. Btw, pernah membaca kisah Jorge Luis Borges nggak? Seorang penulis Argentina yang dianggap salah satu tokoh sastra terbesar abad ke-20. Dia adalah manusia pembaca. Hidupnya didedikasikan untuk membaca buku. Bahkan ketika ia mengalami kebutaan pada usia 30-an, dan buta total menjelang usia 60, ia meminta orang lain yang membacakan buku untuknya. Alberto Manguel datang tiga kali seminggu ke rumahnya untuk membacakan segala hal kepada Borges. Beruntungnya Manguel menjadi bagian sejarah dengan menjadi "mata" bagi penulis besar itu.

Borges tidak pernah menganggap kebutaannya adalah sebuah musibah. Ia menyebutnya sebagai anugerah. Dari kebutaan itu justru ia memiliki sensibilitas melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Dengan kebutaan, suatu istrumen lain tercipta, dan kesempatan membangun dunia yang lain dari yang tidak banyak dipahami oleh khalayak.  Dari matanya yang buta asal segala kegelapan bersarang, justru menjadi pangkal cerita imajinasi yang berlapis-lapis. Dari matanya yang buta, Borges tidak benar-benar buta. Pun, ia mempercayai bahwa tugas moral manusia adalah menjadi bahagia. Membaca buku adalah letak kebahagiaanya. Kebutaan tidak pernah menghalanginya untuk membaca, untuk bahagia.

Jadi, kenapa kita harus membaca buku? Salah satunya biar nggak malu sama Jorge Luis Borges.

Sekian. Terima kasih sudah membaca curhatanku.[]


NJUT! Kenapa Harus Membaca?

Rabu, 05 Juli 2017

, , , ,

Menyelami Falsafah Hidup Samurai

Foto: Dok. Zakiya


Judul              : Hagakure; The Wisdom of Samurai
Penulis          : Yamamoto Tsunetomo
Penerjemah  : Ina Minasaroh
Penerbit         : ONCOR Semesta Ilmu
Tahun             : I, Januari 2012
Tebal              : xvii + 136 halaman
Resensator   : Zakiyatur Rosidah

“Samurai harus menumpuk baban yang berat berupa kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua di pundaknya, juga keberanian dan belas kasih di pundak yang satunya. Jika ia bertahan menanggung beban ini siang dan malam, ia tidak akan gagal dalam menjalankan tugasnya”.
NJUT! Menyelami Falsafah Hidup Samurai

Sabtu, 01 Juli 2017

, , , ,

Ketika Semua Orang Menjadi Jurnalis dan Media


Hasil gambar untuk jurnalisme warga
Dok. Internet

Dulu, saat media hanya ada cetak, radio, dan televisi hitam putih masyarakat tidak cepat panik ketika ada sesuatu heboh di media. Wajar, karena hanya sebagian kecil penduduk di Indonesia membaca media. Kebanyakan mereka mengonsumsi media dari gardu, warung, pasar, dan jam’iyyah pengajian. Itupun informasinya mengalir sangat pelan, sehingga penggiringan opini masyarakat pun berjalan lambat.

NJUT! Ketika Semua Orang Menjadi Jurnalis dan Media

Sabtu, 24 Juni 2017

, , , , , ,

Perampasan Tanah Ulayat Oleh Korporasi


Dok. Internet

Judul               : The MAHUZEs
Produksi         : Watchdog Image (Ekspedisi Indonesia Biru)
Karya              : Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Az
Tahun rilis       : 2015
Durasi             : 1 jam 25 menit
Resensator     : Zakiyatur Rosidah

The MahuzeS, film dokumenter yang membahas ihwal masyarakat adat di daerah Papua yang berjuang melawan perampasan ruang hidup mereka oleh mega-proyek yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia dengan dalih untuk menjawab tantangan krisis pangan dunia di masa yang akan datang. Pun, demi melancarkan agenda tersebut, Pemerintah menggandeng banyak korporasi untuk beroperasi di sana. Perampasan hak tanah ulayat masyarakat Papua tersebut membuat mereka kehilangan tumpuan hidupnya, yaitu hutan. Kerena bagi mereka, hutan adalah rahim ibu yang memberi kehidupan.
NJUT! Perampasan Tanah Ulayat Oleh Korporasi

Senin, 06 Februari 2017

, ,

Festival Salak Wedi 2017; Langkah Awal Wujudkan Kawasan Agrowisata




Dok. Internet
Kirab Gunungan Salak dalam Festival Salak Wedi 2017, Kamis (26/1)

Desa Wedi Kecamatan Kapas merupakan desa yang memiliki perkebunan salak terluas di Kabupaten Bojonegoro. Hampir setiap lahan milik warga yang tidak digunakan untuk bangunan pasti terdapat pohon salak. Salak Wedi, begitulah orang-orang menyebutnya. Mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat Kabupaten Bojonegoro. Salak wedi yang banyak juga tersebar di Desa Wedi, Kalianyar, Tanjungharjo dan sekitarnya ini digadang-gadang menjadi salah satu ikon andalan Bojonegoro. 

Meskipun pohon Salak Wedi dapat dijumpai pula di desa lain, penamaan Salak Wedi tidak lepas dari historisnya. Singkat cerita yang penulis ketahui dari mulut ke mulut, Salak Wedi pertama kali ditanam oleh K.H. Basyir Mujtaba yang hidup pada pertengahan tahun 1800-an. Ulama yang memiliki nama asli Mujtaba ini berasal dari Dukuh Sekartoyo Desa Pacul Kecamatan Kota ini pernah nyantri cukup lama pada K.H. Kholil Bangkalan Madura. Karena dirasa cukup mampu menguasai ilmu agama, beliau pulang ke desanya, Pacul.
NJUT! Festival Salak Wedi 2017; Langkah Awal Wujudkan Kawasan Agrowisata

Jumat, 20 Januari 2017

,

Resolusi atau 'Resolushit' ?



Dok. Internet
Di tengah euforia tahun baru (meskipun sekarang sudah memasuki minggu ke-3 bulan Januari, ya), ada kata yang tidak pernah absen dan laris terucap oleh setiap orang, wabilkhusus kawula muda. Kata tersebut adalah resolusi. Tahun baru, resolusi baru. Begitulah kiranya. Resolusi disini artinya bukan menunjukkan ukuran dari besar kecilnya pixel, ya. Orang memaknainya sebagai sebuah cita-cita, kepercayaan diri, asa, pun planning yang harus dicapai selama satu tahun ke depan. Tak ayal jika harapan membumbung tinggi serta dilukiskan dalam frame kata nan sarat makna. Tentu, resolusi setiap orang pun berbeda-beda.
NJUT! Resolusi atau 'Resolushit' ?

Senin, 16 Januari 2017

,

Mencetak Karakter Remaja di Era Digital

Dok. Internet
Kemajuan teknologi yang semakin hari semakin berkembang membuat dunia seakan tidak memiliki sekat. Hal ini yang membuat masyarakat dengan mudah mendapatkan informasi. Orang yang berada di belahan barat akan dengan mudah mendapat informasi yang sedang menjadi tranding topic  di dunia timur. Begitupun sebaliknya. Alhasil, informasi seluruh dunia menyatu dalam satu frame globalisasi. 

NJUT! Mencetak Karakter Remaja di Era Digital