Dok. Internet |
Judul : The MAHUZEs
Produksi : Watchdog Image (Ekspedisi Indonesia Biru)
Karya : Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Az
Tahun rilis : 2015
Durasi : 1 jam 25 menit
Resensator : Zakiyatur Rosidah
The MahuzeS, film dokumenter yang
membahas ihwal masyarakat adat di daerah Papua yang berjuang melawan perampasan
ruang hidup mereka oleh mega-proyek yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia
dengan dalih untuk menjawab tantangan krisis pangan dunia di masa yang akan
datang. Pun, demi melancarkan agenda tersebut, Pemerintah menggandeng banyak
korporasi untuk beroperasi di sana. Perampasan hak tanah ulayat masyarakat
Papua tersebut membuat mereka kehilangan tumpuan hidupnya, yaitu hutan. Kerena
bagi mereka, hutan adalah
rahim ibu yang memberi kehidupan.
Perusahaan
kelapa sawit
Mahuze merupakan salah satu marga di daerah Merauke
yang diangkat Watchdog sebagai simbol masyarakat Merauke
dalam rangka menolak pembukaan lahan perkebunan sawit yang sudah mengambil
sebagian hutan mereka tanpa persetujuan semua anggota marga. Tahun 2012, perusahaan yang hendak mengembangkan
perkebunan sawit menginvasi tanah Merauke salah satunya adalah PT Agriprima
Cipta Persada (ACP). Kontrak perusahaan tersebut adalah 35 tahun. Perusahaan tersebut menerapkan skema inti
plasma, yakni
bagi hasil dengan rasio 80 : 20. Tentunya 80 untuk perusahaan dan 20 untuk
pemilik lahan. Tetapi masyarakat menginginkan sebaliknya. 80 untuk pemilik
lahan dan 20 untuk perusahaan. Pastinya, perusahaan tidak mau menerima pola yang diajukan masyarakat
dan tidak mau dirugikan.
Para pemegang hak ulayat seperti marga Ndiken sudah
ikhlas menyerahkan tanahnya untuk perkebunan sawit.
Namun warga Mahuze bersikeras mempertahankan suatu yang sudah sepenuhnya
menjadi hak mereka tersebut. Hutan yang mereka yakini adalah
hal yang harus diwariskan untuk keturunan mereka agar anak cucu dapat menikmati
hasil hutan demi keberlangsungan hidupnya. Mereka tidak rela memberikan tanahnya pada perusahaan
sejengkal pun. Hal tersebut tentu sudah dipertimbangkan oleh marga Mahuze.
Mereka melihat realitas di alam tetangga mereka yang rusak tidak karuan pasca
perusahaan perkebunan sawit hadir di sana. Warga sulit menemukan sagu sebagai
makanan pokok mereka lagi. Sungai berubah menjadi
dangkal, bahkan tercemar mengakibatkan mereka sulit untuk menemukan air bersih
dan mencari ikan. Parahnya lagi, warga lokal yang
tak mempunyai lahan untuk mencari makan berakhir menjadi buruh kasar di tanahnya sendiri. Bahkan lantaran keterbatasan keterampilan, mereka
tidak mempunyai pekerjaan.
Program ketahanan pangan nasional
Dalam film garapan Dandhy Dwi
Laksono dan Suparta AZ ini kemudian berlanjut pada persoalan hadirnya program
pemerintah yang dicanangkan sejak Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi tampuk kekuasaan sebagai
presiden periode pertama. Tahun 2006, sebuah proyek bertajuk Merauke Integrated Rice Estate (MIRE)
diluncurkan. Menurut SBY, MIRE adalah ide cemerlang bahwa Indonesia nantinya
akan memiliki pabrik beras yang massif dalam luasan proyek dan skala
produksinya. Pada tahun 2008, Saudi bin Laden Grup ingin berinvestasi dalam
rangka memenuhi kebutuhan pangan di Arab Saudi. Perusahaan tersebut
merencanakan investasi untuk mengembangkan 500.000 Ha lahan padi di Merauke.
Namun, rencana investasi ini gagal karena pada saat itu terjadi global financial crisis.
Tahun 2010, SBY
mengemas kembali proyek tersebut dengan nama Merauke Integrated Food And Energy Estate yang dikenal dengan
istilah MIFEE. Dapat dikatakan bahwa proyek ini merupakan pintu gerbang untuk
memenuhi kebutuhan pangan nasional melalui pembukaan lahan baru di luar pulau Jawa
dan Sumatera. Empat tahun kemudian, tongkat estafet dilanjutkan pada era
pemerintahan Jokowi. Proyek MIFEE semakin gencar dalam melancarkan aksinya. Hal ini ditandai dengan penambahan 1, 2 juta
hektar lahan baru untuk mencetak sawah dalam kurun waktu tiga tahun.
Ekspansi MIFEE secara seremonial
ditandai melalui pidato Presiden Jokowi setelah senyum
lebar kepada awak media ketika mengikuti panen padi di sawah milik Medco grup
di distrik Kurik. Dalam pidatonya tersirat bahwa seakan impor beras yang selama
ini menghantui dan menjadi polemik yang berkepanjangan telah menemukan solusi. Dengan
lantang Jokowi memberitahukan kepada dunia bahwa beberapa tahun ke depan, dengan
bentang luas lebih dari satu juta hektar lahan persawahan, Indonesia dibayangkan
akan memiliki beras yang melimpah ruah sehingga sanggup memberi makan dalam
negeri, lalu memberi makan dunia. Namun, apakah benar demikian?
Belajar
dari Mahuze
Film yang berdurasi satu setengah jam ini sangat penting
untuk melihat bagaimana masyarakat adat sangat bergantung pada hutan. Selain
sebagai sumber mata pencaharian dan pertahanan hidup, suku Malind juga memiliki
hubungan yang sangat mendalam dengan budaya dan identitas mereka sebagai
masyarakat. Oleh
karena itu, pengambilalihan hutan untuk realisasi proyek semacam MIFEE adalah bentuk ancaman yag
serius karena
jelas telah mendeforestasi luas hutan Merauke. Menggantikan hutan dengan
persawahan dan perkebunan berarti telah menghancurkan segala penunjang kehidupan
suku Malind, dan akan berdampak pada etnosida suku Malind secara komprehensif.
Di film ini pula, kita dapat melihat bagaimana masyarakat
adat yang ada justru sangat beradab. Mereka hidup menyatu dengan alam, di mana
ia menjadi bagian metabolik atau berada dalam satu kesatuan dalam proses sosial. Hal tersebut tentu saja sangat bertolak
belakang dengan masyarakat kapitalistik yang menempatkan alam sebagai komoditas
dan alam justru dijadikan sebagai
obyek eksploitasi.
Beberapa dinamika sosial juga terlihat gamblang di film
ini. Kita dapat melihat bagaimana warga Mahuze berinteraksi dan berkomunikasi
antarsesama. Bagaimana warga Mahuze bermusyawarah sebagai upaya penyelesaian
masalah marga. Terdapat pula tokoh-tokoh pemuka agama
dan adat yang turut andil dalam mengambil keputusan. Dalam bermusyawarah,
mereka tidak bertindak dengan cara kekerasan, namun lebih mengutamakan
kebersamaan dan mengedepankan cara berpikir yang baik guna menyelesaikan
masalah marga tersebut. Hal tersebut
mencerminkan suku
marga Mahuze sangatlah demokratis.
Dari film dokumenter ini juga
menyadarkan kita bahwa ternyata permasalahan-permasalahan di tanah Papua sangat
kompleks. Tidak sekadar menyoal Freeport, atau pendidikan yang terbelakang
saja, namun sebenarnya banyak permasalahan tentang pengalihan fungsi lahan dan
perampasan tanah ulayat dengan mengabaikan hak-hak dasar masyarakat adat tentu
sangat memprihatinkan. Aktor-aktor ekonomi, baik swasta maupun pemerintah
sengaja mengabaikan dengan memandang sebagian besar tanah Papua adalah tanah tak
bertuan yang cocok dijadikan lokasi proyek pangan dan energi. Ironis memang, Papua
dijadikan panggung ketamakan sehingga terjadilah perselingkuhan yang amat
menjijikkan antara penguasa dan investor yang semata-mata ditujukan untuk
memenuhi kebutuhan ekstraktif korporasi.
Film dokumenter ini bisa ditonton gratis di sini.
Film dokumenter ini bisa ditonton gratis di sini.
0 komentar:
Posting Komentar