Jumat, 20 Oktober 2017

, ,

Kenapa Harus Membaca?

Dicomot dari Internet
"Membaca itu seperti menjelajah" - begitulah kata penulis kenamaan Indonesia, Eka Kurniawan.

Membaca tidak sekadar mengantarkan kita untuk tahu bahwa sebuah karya akan membuat kita bertemu dengan karakter yang berbeda atau membawa kita ke tempat lain. Tapi sering kali kita menemukan pengalaman dari membaca karya tertentu, dari pengarang tertentu, yang berada di luar apa yang kita asumsikan sendiri.

Jika membaca itu seperti menjelajah, berarti saat kita membaca setiap lembar buku sama halnya dengan satu langkah dalam penjelajahan. Its mean, how to travel in time? READ.

Ngomong-ngomong soal kegemaran membaca, pastinya aku gak mak bedunduk bisa membaca sejak lahir. Aku tidak terlahir dari keluarga yang intelektualis, doyan baca, dan menekankan untuk rajin membaca. Orang tuaku tidak memberi fasilitas yang demikian. Kalau ditanya apa penyesalanku dalam hidup? Di list itu salah satunya aku akan menulis "aku tidak gemar membaca sejak dini". Aku baru kepikiran untuk membaca saat SMA. Itu pun gara-gara tugas resensi buku mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia yang mengharuskanku untuk masuk perpustakaan dan mencari novel di sana. Namun, setelah menghabiskan satu novel, ternyata ketagihan. (Jadi ingat PJTD LPM Frekuensi kemarin, salah seorang kru magang menuliskan motivasinya, "Menulis itu seperti memandangmu, candu". Iya. Bagiku, begitu pula dengan membaca). Lalu kebiasaanku yang semula kalau jam istirahat hanya melipir ke kantin, berubah ke perpustakaan untuk meminjam novel. Akhir masa putih abu-abu, aku jadi sering ke toko buku. Mulai menyisihkan uang saku yang tak seberapa, bahkan sering merayu ibuku untuk membeli buku incaran. Kala mengeluarkan jurus merayu, dengan nada khasnya almarhumah ibuku pasti menanyaiku "tuku buku terus, mbe woco temenan tah gak?".

Lain lagi ceritanya saat sudah masuk perguruan tinggi. Aku sudah tidak bisa lagi menodong ibu agar diberi uang untuk beli buku. Padahal hasrat membeli dan bahkan membaca --dan menimbun--  buku semakin kuat. Lagi-lagi menyisihkan uang saku adalah cara terbaik. Selain itu, kalau kehabisan bacaan, selalu ada teman yang baik yang bukunya bisa dipinjam. Makasih banyak buat yang sering meminjamiku buku. Maafkan aku yang sering nodong minta asupan bacaan. Aku peminjam yang baik kok. Haha. Makasih juga buat yang sering merekomendasikan untuk baca e-book. Tapi, maaf aku belum betah berlama-lama memegang gawai untuk baca e-book. Lain cerita kalau baca dan balas chat dari kamu, Eaaa :v (kalimat terakhir HOAX!)

Tapi aku sering galau perihal apa yang kubaca. Sering kali minat membeli --untuk ditimbun-- buku-buku rupanya nggak berbanding lurus dengan minat membacanya. Aku sering ditanya sama orang di sekitarku, suka baca buku apa? Dengan ketus aku menjawab, "Embuh. Angger moco.". Tapi nyatanya kadang tidak demikian. Kadang muncul penyakit ketika Agumon berevolusi jadi Greymon--pembaca segala berubah jadi pembaca yang selektif. Selain itu, aku juga sering curhat ke seseorang tentang keresahanku membaca, "Aku ini gak bisa menangkap pengetahuan yang ada di buku secara menyeluruh. Aku nggak suka kalau tahu tentang suatu hal itu setengah-setengah. Apa aku sekalian nggak usah membaca saja ya?". Haha. Dasar labil. Mungkin lebih tepatnya mood lah yang memengaruhi keinginan membacaku. Misalnya, akhir-akhir ini. Entah kenapa pengin cari bacaan tentang agraria dan novel young adult, tentang cinta-cinta gitulah. (Belum terpenuhi. Kalau kamu punya, bolehlah kupinjam? =D )

Aku sadar, masuk fase  'bukan selera saya' atau dalam istilah kids zaman now  disebut  dengan 'not my cup of tea' nyatanya tidak baik. Jika buku adalah jendela dunia maka memilih-milih genre bacaan berarti sama halnya dengan menutup beberapa jendela untuk melihat dunia luar, bukan? Jadi, aku mengeset ulang tujuan membaca. Membaca tanpa pretensi apa-apa. Malah sering berpikiran, sing penting aku seneng. Jadi jangan sensi kalo tanya perihal genre bacaan dan kujawab seperti yang telah kujelaskan di atas, ya. Misal, Aku membaca How Rules the World - Noam Chomsky hari ini, besoknya baca karya Dijah Yellow yang tempo hari viral di twitter ya sah-sah saja.

Oh, iya. Btw, pernah membaca kisah Jorge Luis Borges nggak? Seorang penulis Argentina yang dianggap salah satu tokoh sastra terbesar abad ke-20. Dia adalah manusia pembaca. Hidupnya didedikasikan untuk membaca buku. Bahkan ketika ia mengalami kebutaan pada usia 30-an, dan buta total menjelang usia 60, ia meminta orang lain yang membacakan buku untuknya. Alberto Manguel datang tiga kali seminggu ke rumahnya untuk membacakan segala hal kepada Borges. Beruntungnya Manguel menjadi bagian sejarah dengan menjadi "mata" bagi penulis besar itu.

Borges tidak pernah menganggap kebutaannya adalah sebuah musibah. Ia menyebutnya sebagai anugerah. Dari kebutaan itu justru ia memiliki sensibilitas melihat sesuatu dengan cara yang berbeda. Dengan kebutaan, suatu istrumen lain tercipta, dan kesempatan membangun dunia yang lain dari yang tidak banyak dipahami oleh khalayak.  Dari matanya yang buta asal segala kegelapan bersarang, justru menjadi pangkal cerita imajinasi yang berlapis-lapis. Dari matanya yang buta, Borges tidak benar-benar buta. Pun, ia mempercayai bahwa tugas moral manusia adalah menjadi bahagia. Membaca buku adalah letak kebahagiaanya. Kebutaan tidak pernah menghalanginya untuk membaca, untuk bahagia.

Jadi, kenapa kita harus membaca buku? Salah satunya biar nggak malu sama Jorge Luis Borges.

Sekian. Terima kasih sudah membaca curhatanku.[]


NJUT! Kenapa Harus Membaca?