Dicomot dari Internet |
"Membaca itu seperti menjelajah" - begitulah kata penulis kenamaan Indonesia, Eka Kurniawan.
Membaca tidak sekadar mengantarkan
kita untuk tahu bahwa sebuah karya akan membuat kita bertemu dengan karakter
yang berbeda atau membawa kita ke tempat lain. Tapi sering kali kita menemukan
pengalaman dari membaca karya tertentu, dari pengarang tertentu, yang berada di
luar apa yang kita asumsikan sendiri.
Jika membaca itu seperti menjelajah,
berarti saat kita membaca setiap lembar buku sama halnya dengan satu langkah
dalam penjelajahan. Its mean, how to travel in time? READ.
Ngomong-ngomong soal kegemaran
membaca, pastinya aku gak mak bedunduk bisa membaca sejak lahir. Aku
tidak terlahir dari keluarga yang intelektualis, doyan baca, dan menekankan
untuk rajin membaca. Orang tuaku tidak memberi fasilitas yang demikian. Kalau
ditanya apa penyesalanku dalam hidup? Di list itu salah satunya aku akan menulis
"aku tidak gemar membaca sejak dini". Aku baru kepikiran untuk
membaca saat SMA. Itu pun gara-gara tugas resensi buku mata pelajaran bahasa
dan sastra Indonesia yang mengharuskanku untuk masuk perpustakaan dan mencari novel
di sana. Namun, setelah menghabiskan satu novel, ternyata ketagihan. (Jadi
ingat PJTD LPM Frekuensi kemarin, salah seorang kru magang menuliskan
motivasinya, "Menulis itu seperti memandangmu, candu". Iya. Bagiku,
begitu pula dengan membaca). Lalu kebiasaanku yang semula kalau jam istirahat
hanya melipir ke kantin, berubah ke perpustakaan untuk meminjam novel. Akhir
masa putih abu-abu, aku jadi sering ke toko buku. Mulai menyisihkan uang saku
yang tak seberapa, bahkan sering merayu ibuku untuk membeli buku incaran. Kala
mengeluarkan jurus merayu, dengan nada khasnya almarhumah ibuku pasti
menanyaiku "tuku buku terus, mbe woco temenan tah gak?".
Lain lagi ceritanya saat sudah masuk
perguruan tinggi. Aku sudah tidak bisa lagi menodong ibu agar diberi uang untuk
beli buku. Padahal hasrat membeli dan bahkan membaca --dan menimbun-- buku semakin kuat. Lagi-lagi menyisihkan uang
saku adalah cara terbaik. Selain itu, kalau kehabisan bacaan, selalu ada teman
yang baik yang bukunya bisa dipinjam. Makasih banyak buat yang sering
meminjamiku buku. Maafkan aku yang sering nodong minta asupan bacaan. Aku
peminjam yang baik kok. Haha. Makasih juga buat yang sering merekomendasikan
untuk baca e-book. Tapi, maaf aku belum betah berlama-lama memegang gawai untuk
baca e-book. Lain cerita kalau baca dan balas chat dari kamu, Eaaa :v
(kalimat terakhir HOAX!)
Tapi aku sering galau perihal apa
yang kubaca. Sering kali minat membeli --untuk ditimbun-- buku-buku rupanya
nggak berbanding lurus dengan minat membacanya. Aku sering ditanya sama orang
di sekitarku, suka baca buku apa? Dengan ketus aku menjawab, "Embuh.
Angger moco.". Tapi nyatanya kadang tidak demikian. Kadang muncul
penyakit ketika Agumon berevolusi jadi Greymon--pembaca segala berubah jadi
pembaca yang selektif. Selain itu, aku juga sering curhat ke seseorang tentang keresahanku membaca, "Aku ini gak bisa menangkap pengetahuan yang ada di buku secara menyeluruh. Aku nggak suka kalau tahu tentang suatu hal itu setengah-setengah. Apa aku sekalian nggak usah membaca saja ya?". Haha. Dasar labil. Mungkin lebih tepatnya mood lah yang memengaruhi keinginan membacaku. Misalnya,
akhir-akhir ini. Entah kenapa pengin cari bacaan tentang agraria dan novel young
adult, tentang cinta-cinta gitulah. (Belum terpenuhi. Kalau kamu punya,
bolehlah kupinjam? =D )
Aku sadar, masuk fase 'bukan selera saya' atau dalam istilah kids zaman now disebut dengan 'not my cup
of tea' nyatanya tidak baik. Jika buku adalah jendela dunia maka
memilih-milih genre bacaan berarti sama halnya dengan menutup beberapa jendela
untuk melihat dunia luar, bukan? Jadi, aku mengeset ulang tujuan membaca.
Membaca tanpa pretensi apa-apa. Malah sering berpikiran, sing penting aku
seneng. Jadi jangan sensi kalo tanya perihal
genre bacaan dan kujawab seperti yang telah kujelaskan di atas, ya. Misal, Aku
membaca How Rules the World - Noam Chomsky hari ini, besoknya baca karya Dijah
Yellow yang tempo hari viral di twitter ya sah-sah saja.
Oh, iya. Btw, pernah membaca kisah
Jorge Luis Borges nggak? Seorang penulis Argentina yang dianggap salah satu
tokoh sastra terbesar abad ke-20. Dia adalah manusia pembaca. Hidupnya
didedikasikan untuk membaca buku. Bahkan ketika ia mengalami kebutaan pada usia
30-an, dan buta total menjelang usia 60, ia meminta orang lain yang membacakan
buku untuknya. Alberto Manguel datang tiga kali seminggu ke rumahnya untuk
membacakan segala hal kepada Borges. Beruntungnya Manguel menjadi bagian
sejarah dengan menjadi "mata" bagi penulis besar itu.
Borges tidak pernah menganggap
kebutaannya adalah sebuah musibah. Ia menyebutnya sebagai anugerah. Dari
kebutaan itu justru ia memiliki sensibilitas melihat sesuatu dengan cara yang
berbeda. Dengan kebutaan, suatu istrumen lain tercipta, dan kesempatan
membangun dunia yang lain dari yang tidak banyak dipahami oleh khalayak. Dari matanya yang buta asal segala kegelapan
bersarang, justru menjadi pangkal cerita imajinasi yang berlapis-lapis. Dari
matanya yang buta, Borges tidak benar-benar buta. Pun, ia mempercayai bahwa
tugas moral manusia adalah menjadi bahagia. Membaca buku adalah letak
kebahagiaanya. Kebutaan tidak pernah menghalanginya untuk membaca, untuk
bahagia.
Jadi, kenapa kita harus membaca
buku? Salah satunya biar nggak malu sama Jorge Luis Borges.
Sekian. Terima kasih sudah membaca
curhatanku.[]