Dok. Internet |
Dulu,
saat media hanya ada cetak, radio, dan televisi hitam putih masyarakat tidak
cepat panik ketika ada sesuatu heboh di media. Wajar, karena hanya sebagian
kecil penduduk di Indonesia membaca media. Kebanyakan mereka mengonsumsi media
dari gardu, warung, pasar, dan jam’iyyah pengajian.
Itupun informasinya mengalir sangat pelan, sehingga penggiringan opini
masyarakat pun berjalan lambat.
Tetapi,
sekarang perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat. Jika sebelumnya
masyarakat harus berlangganan koran, mendengarkan siaran radio, dan menonton
televisi, pada era ini siapapun bisa mengakses informasi, misalnya via media online. Dengan adanya media online, informasi semakin cepat
tersebar. Segala informasi mengenai berbagai bidang bisa diakses dan bisa
dikatakan unlimited. Tidak bisa
dipungkiri, media online sangat
membantu kita untuk mendapatkan informasi
sehingga kita tidak kudet. Cukup
sekali klik. Tapi jangan salah, ia juga bisa menimbulkan konflik dengan cepat. Begitu
penyedia informasi memposting, dengan
mudah pembaca menanggapinya sehingga ada feedback
yang sangat cepat antara keduanya.
Tak
berhenti sampai disitu, muncul media sosial seperti facebook, twitter, dan antek-anteknya
yang semakin mengubah dunia informasi dan komunikasi. Di era ini, Media sosial
menjadi media massa milik semua orang dan sangat massif digunakan untuk
menyebarkan informasi. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam dunia
jurnalistik. Mengapa? Karena saat ini informasi tidak hanya dimonopoli oleh
media yang notabene milik sebuah perusahaan dengan pembagian tugas yang jelas
dan akuntabel sebagaimana Undang-Undang Pers.
Kini
semua orang bisa menjadi penyedia informasi baik secara individu maupun
kelompok. Mereka menyajikan informasi dan menyebarkannya ke publik. Tak jarang
pula, mereka cukup copy-paste dan share. Jadi sajian informasi saat ini
seperti hujan yang turun sangat deras, bahkan mengakibatkan banjir. Hal itu
bisa membuat orang sangat sulit membedakan mana informasi yang benar-benar diolah
oleh lembaga pers ataukah diolah individu atau kelompok. Anehnya, pun semuanya
mengaku berpijak pada ‘kebenaran’.
Mudah
saja, individu atau kelompok membuat website
sendiri dengan rubrik sesukanya. Semua informasi itu siapapun bisa dengan mudah
diubahnya menjadi informasi yang lain, bisa dengan judulnya saja yang beda
kemudian siap posting, kemudian informasi tersebut menjadi tak bertuan. Tak
cukup sampai di situ, sekarang muncul informasi yang didesain secara visual
sederhana yaitu meme-meme yang banyak bertebaran di media sosial.
Begitulah
kiranya gambaran dunia digital kita saat ini. Segalanya serba cepat dan
praktis. Misalnya, ada link berita di
facebook yang sejalan dengan sikap
kita, tanpa basa-basi langsung share bahkan
terkadang tanpa dibaca sampai tuntas terlebih dahulu. Wis, pokoknya share, like,
comment.
Tanpa
disadari, kita adalah media yang turut serta share informasi di media sosial tanpa peduli apakah hoax atau benar adanya. Kita turut menyebarkan
konflik yang dibangun oleh pihak tertentu. Tanpa disadari pula, tangan kita
digerakkan untuk mengajak orang lain ikut pandangan kita, mencaci dan menebar
kebencian terhadap orang lain. Bahkan sampai kita tidak mengenali diri kita
sendiri.
Menyoal
berita hoax, hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam masyarakat. Dari
dulu pun sudah sering beredar kabar burung mengenai berbagai hal. Akan tetapi
kehadiran media sosial juga sangat berpengaruh dan membuat persebaran berita hoax
tesebut melonjak drastis. Terlebih di media sosial tidak ada prosedur penyaringan
seperti di koran dan televisi. Dari hal semacam
ini, penyedia media sosial hendaknya
bertanggungjawab agar media sosial yang dikelolanya bersih dari berita hoax. Misalnya, memberikan teguran
kepada pengunggah konten negatif atau menyaring apakah informasi tersebut layak
dipublikasikan atau tidak. Pun bagi pengguna, mereka hendaknya berani melapor
kepada penyedia layanan media sosial atau pihak-pihak yang terkait seperti
Dinas Komunikasi dan Informatika apabila ia menemukan tulisan atau apapun yang
sarat akan hal-hal negatif bahkan sampai merugikan orang lain.
Di
dunia digital ini, akan sangat bijak dan bajik jika kita menjadi pengguna yang
cerdas, kritis dan bersikap skeptis karena tidak semua informasi yang kita peroleh dari internet dan antek-anteknya tersebut relevan dan mengandung kebenaran. Di tengah banjir informasi ini, kita harus
mempunyai kemauan untuk melakukan verifikasi atas informasi yang kita dapat. Apakah
informasi yang kita terima benar dan valid atau hoax. Kita perlu
menyaring informasi tersebut untuk bisa menentukan mana yang positif dan
negatif. Seharusnya kita juga paham mana informasi yang memuat berita sampah,
dan mana informasi yang layak dikonsumsi lalu di share ke publik.
Mencari dan menyebarkan informasi yang benar dan berkualitas tidak hanya
tanggung jawab satu pihak, jurnalis, misalnya, tetapi tanggung jawab kita
bersama.
Semoga kita tidak menjadi pembunuh bagi masa depan kita sendiri.[]
Mau nulis komentar aja kaya maen petak umpet. Good job kakak, mungkin bisa ditambah contoh dan akibat dari konten2 hoax nya, atau usaha meminimalkan konten hoax kaya yg diadakan kominfo kmaren. Izin share ya, ditunggu post berikutnya
BalasHapusHehehe.. makasih sarannya, Kak :)
HapusMau nulis komentar aja kaya maen petak umpet. Good job kakak, mungkin bisa ditambah contoh dan akibat dari konten2 hoax nya, atau usaha meminimalkan konten hoax kaya yg diadakan kominfo kmaren. Izin share ya, ditunggu post berikutnya
BalasHapus