Sabtu, 01 Juli 2017

, , , ,

Ketika Semua Orang Menjadi Jurnalis dan Media


Hasil gambar untuk jurnalisme warga
Dok. Internet

Dulu, saat media hanya ada cetak, radio, dan televisi hitam putih masyarakat tidak cepat panik ketika ada sesuatu heboh di media. Wajar, karena hanya sebagian kecil penduduk di Indonesia membaca media. Kebanyakan mereka mengonsumsi media dari gardu, warung, pasar, dan jam’iyyah pengajian. Itupun informasinya mengalir sangat pelan, sehingga penggiringan opini masyarakat pun berjalan lambat.

Meskipun terkesan lambat, bukan berarti media di Indonesia ini anteng-anteng saja. Pada masa Orde Baru, penerbitan di media massa berada dalam pengawasan pemerintah yaitu melalui Departemen Penerangan. Semua informasi yang menyebar diatur oleh penguasa. Apabila lembaga pers ingin tetap eksis, maka harus memberitakan hal-hal yang baik tentang pemerintah tersebut. Kepemimpinan yang otoriter seperti itu seakan telah memberantas kebebasan masyarakat, padahal salah satu fungsi pers adalah sebagai kritik dan kontrol sosial. Sehingga, tidak heran jika kala itu pemerintah sering melakukan pembredelan bagi media yang berani memberi informasi yang bertentangan dengan apa yang diinginkan oleh penguasa, karena saat itu konsepsi pers dititikberatkan pada “kebebasan dan bertanggung jawab” tetapi lebih terfokus pada menjaga stabilitas Nasional dan kemajuan dalam pembangunan saja sehingga terkesan seperti hanya kemauan pemerintah semata.

Tetapi, sekarang perkembangan teknologi dan informasi sangatlah pesat. Jika sebelumnya masyarakat harus berlangganan koran, mendengarkan siaran radio, dan menonton televisi, pada era ini siapapun bisa mengakses informasi, misalnya via media online. Dengan adanya media online, informasi semakin cepat tersebar. Segala informasi mengenai berbagai bidang bisa diakses dan bisa dikatakan unlimited. Tidak bisa dipungkiri, media online sangat membantu kita untuk mendapatkan informasi sehingga kita tidak kudet. Cukup sekali klik. Tapi jangan salah, ia juga bisa menimbulkan konflik dengan cepat. Begitu penyedia informasi memposting, dengan mudah pembaca menanggapinya sehingga ada feedback yang sangat cepat antara keduanya.

Tak berhenti sampai disitu, muncul media sosial seperti facebook, twitter, dan ­­antek-anteknya yang semakin mengubah dunia informasi dan komunikasi. Di era ini, Media sosial menjadi media massa milik semua orang dan sangat massif digunakan untuk menyebarkan informasi. Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri dalam dunia jurnalistik. Mengapa? Karena saat ini informasi tidak hanya dimonopoli oleh media yang notabene milik sebuah perusahaan dengan pembagian tugas yang jelas dan akuntabel sebagaimana Undang-Undang Pers.

Kini semua orang bisa menjadi penyedia informasi baik secara individu maupun kelompok. Mereka menyajikan informasi dan menyebarkannya ke publik. Tak jarang pula, mereka cukup copy-paste dan share. Jadi sajian informasi saat ini seperti hujan yang turun sangat deras, bahkan mengakibatkan banjir. Hal itu bisa membuat orang sangat sulit membedakan mana informasi yang benar-benar diolah oleh lembaga pers ataukah diolah individu atau kelompok. Anehnya, pun semuanya mengaku berpijak pada ‘kebenaran’.

Mudah saja, individu atau kelompok membuat website sendiri dengan rubrik sesukanya. Semua informasi itu siapapun bisa dengan mudah diubahnya menjadi informasi yang lain, bisa dengan judulnya saja yang beda kemudian siap posting, kemudian informasi tersebut menjadi tak bertuan. Tak cukup sampai di situ, sekarang muncul informasi yang didesain secara visual sederhana yaitu meme-meme yang banyak bertebaran di media sosial.
Begitulah kiranya gambaran dunia digital kita saat ini. Segalanya serba cepat dan praktis. Misalnya, ada link berita di facebook yang sejalan dengan sikap kita, tanpa basa-basi langsung share bahkan terkadang tanpa dibaca sampai tuntas terlebih dahulu. Wis, ­pokoknya share, like, comment.

Tanpa disadari, kita adalah media yang turut serta share informasi di media sosial tanpa peduli apakah hoax atau benar adanya. Kita turut menyebarkan konflik yang dibangun oleh pihak tertentu. Tanpa disadari pula, tangan kita digerakkan untuk mengajak orang lain ikut pandangan kita, mencaci dan menebar kebencian terhadap orang lain. Bahkan sampai kita tidak mengenali diri kita sendiri.

Menyoal berita hoax, hal ini bukanlah sesuatu yang baru dalam masyarakat. Dari dulu pun sudah sering beredar kabar burung mengenai berbagai hal. Akan tetapi kehadiran media sosial juga sangat berpengaruh dan membuat persebaran berita hoax tesebut melonjak drastis. Terlebih di media sosial tidak ada prosedur penyaringan seperti di koran dan televisi. Dari hal semacam ini,  penyedia media sosial hendaknya bertanggungjawab agar media sosial yang dikelolanya bersih dari berita hoax. Misalnya, memberikan teguran kepada pengunggah konten negatif atau menyaring apakah informasi tersebut layak dipublikasikan atau tidak. Pun bagi pengguna, mereka hendaknya berani melapor kepada penyedia layanan media sosial atau pihak-pihak yang terkait seperti Dinas Komunikasi dan Informatika apabila ia menemukan tulisan atau apapun yang sarat akan hal-hal negatif bahkan sampai merugikan orang lain.

Di dunia digital ini, akan sangat bijak dan bajik jika kita menjadi pengguna yang cerdas, kritis dan bersikap skeptis karena tidak semua informasi yang kita peroleh dari internet dan antek-anteknya tersebut relevan dan mengandung kebenaran. Di tengah banjir informasi ini, kita harus mempunyai kemauan untuk melakukan verifikasi atas informasi yang kita dapat. Apakah informasi yang kita terima benar dan valid atau hoax. Kita perlu menyaring informasi tersebut untuk bisa menentukan mana yang positif dan negatif. Seharusnya kita juga paham mana informasi yang memuat berita sampah, dan mana informasi yang layak dikonsumsi lalu di share ke publik. Mencari dan menyebarkan informasi yang benar dan berkualitas tidak hanya tanggung jawab satu pihak, jurnalis, misalnya, tetapi tanggung jawab kita bersama.
Semoga kita tidak menjadi pembunuh bagi masa depan kita sendiri.[]

3 komentar:

  1. Mau nulis komentar aja kaya maen petak umpet. Good job kakak, mungkin bisa ditambah contoh dan akibat dari konten2 hoax nya, atau usaha meminimalkan konten hoax kaya yg diadakan kominfo kmaren. Izin share ya, ditunggu post berikutnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe.. makasih sarannya, Kak :)

      Hapus
  2. Mau nulis komentar aja kaya maen petak umpet. Good job kakak, mungkin bisa ditambah contoh dan akibat dari konten2 hoax nya, atau usaha meminimalkan konten hoax kaya yg diadakan kominfo kmaren. Izin share ya, ditunggu post berikutnya

    BalasHapus