Foto: Dok. Zakiya |
Judul : Hagakure; The Wisdom of Samurai
Penulis : Yamamoto Tsunetomo
Penerjemah : Ina Minasaroh
Penerbit : ONCOR Semesta Ilmu
Tahun : I, Januari 2012
Tebal : xvii + 136 halaman
Resensator : Zakiyatur Rosidah
“Samurai harus menumpuk baban yang berat
berupa kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua di pundaknya, juga keberanian
dan belas kasih di pundak yang satunya. Jika ia bertahan menanggung beban ini
siang dan malam, ia tidak akan gagal dalam menjalankan tugasnya”.
Itulah sepenggal kalimat di bagian pengantar buku “Hagakure; The Wisdom of Samurai” yang
menggambarkan kehidupan para samurai. Dilihat dari asal katanya, huruf kanji
untuk samurai adalah 侍 yang berarti menunggu atau melayani. Para
samurai memiliki sifat tangguh, totalitas, disiplin, dan bertangungjawab dalam
mengemban tugasnya. Sejatinya, samurai adalah pengabdi, karena tidak ada hal
lain yang penting atau sebeharga kesetiaan kepada junjungan.
Panggilan tertinggi bagi setiap
samurai adalah memenuhi tugas apapun yang diberikan junjungannya tanpa
mementingkan diri sendiri, termasuk hal yang dianggap remeh-temeh sekali pun.
Bahkan mereka harus rela berkorban jika diperintahkan untuk melakukan seppuku (bunuh diri yang dilakukan dengan
cara membelah perutnya, atau disebut juga harakiri).
Para samurai menjaga prinsip
hidup yang luar biasa tersebut dengan berpegang teguh pada Bushido. Bushido terdiri dari tiga huruf Kanji; bu (perang), shi (orang), do (jalan). Bushido bisa diartikan sebagai jalan
samurai atau semacam kode kehormatan dan aturan hidup bagi samurai yang lahir
dari campuran Buddhisme, Chu-Tsu, Konfusius, dan Shinto yang secara resmi
diperkenalkan pada abad ke-17.
Ada delapan
prinsip bushido, yakni:
Jin—mengembangkan
pemahaman supaya bersimpati kepada orang lain ,
Gi—menjaga
etika yang benar,
Chu—menunjukkan
kesetiaan kepada junjungannya,
Ko—menghormati
dan menyayangi orang tua,
Rei—menghormati
sesama,
Chi—meningkatkan
kebijaksanaa dengan memperluas pengetahuan,
Shin—menjaga
kejujuran sepanjang waktu,
Tei—mencintai
orang tua dan siapa pun yang patut dikasihani.
Buku Hagakure berisi filsafat hasil perenungan
Yamamoto Tsunetomo mengenai intisari ajaran bushido. Tsunetomo adalah
samurai yang mengabdi pada Nabeshima Mitsushige, penguasa ketiga wilayah yang
kini disebut Saga Prefecture.
Hagakure, yang berarti ‘bersembunyi di
balik dedaunan’ ini menarik bukan hanya karena filsafat atau hikmah yang
terkandung di dalamnya saja, baik dari yang bersifat dalam maupun keduniawian
yang sifatnya absurd, lucu, dan membigungkan, tetapi juga karena konteks
historis yang mejadi latar belakang penulisannya. Pertempuran Sekigahara antara
pasukan Hideyoshi Toyotomi dan Ieyasu Tokugawa telah berakhir pada tahun 1600. Pasca
pertempuran, keadaan berubah. Pada zaman Edo (1600-1868), Jepang berada dalam
masa damai berkepanjangan yang belum pernah ada sebelumya. Selama kurang lebih
100 tahun tak ada samurai yang turun di medan perang, tidak ada lagi
pertumpahan darah. Mereka hanya mengurusi tugas-tugas administratif. Pada masa
inilah buku Hagakure; The Wisdom of
Samurai ditulis.
Di buku ini, Tsunetomo
berulangkali menceritakan kegelisahannya betapa semakin lemahnya para samurai kala
itu, bahkan khawatir jika para samurai menjadi feminin. Oleh karena itu lah,
Tsunetomo menceritakan kembali kisah-kisah teladan samurai terdahulu yang setia
di jalan bushido. Tsunetomo juga mengritisi elemen-elemen yang ada pada
masyarakatnya kala itu yang dirasa sudah tidak lagi memenuhi standar. Bagaimanapun
Hagakure telah memberi standar kepada
banyak samurai untuk menilai tindakan dan hidup mereka. Hagakure mendorong samurai untuk senantiasa berpegang pada
prinsipnya, pada kebenaran, pada Bushido.
Buku 136
halaman ini sangat relevan untuk dibaca saat ini meskipun ditulis lebih dari 300
tahun silam karena buku ini sarat akan pengetahuan dan kebijaksanaan yang bisa
diaplikasikan oleh siapapun. Hagakure telah
memberi contoh-contoh paradigma seorang manusia tentang bagaimana seharusnya
dunia ini. Ketika membaca Hagakure, kita
akan menemukan banyak sekali perasaan dan pikiran kita yang terungkapkan dengan
sangat jelas seolah-olah terwakili oleh kalimat demi kalimat dalam buku ini. Jika
kita menganggap bahwa kata-kata tersebut telah lama ditulis dari sebuah negeri
yang sepenuhnya terisolasi dari dunia luar, pasti kita akan menyadari pula bahwasanya
pikiran samurai tidak terbatas waktu. Maka, tak ada salahnya untuk mengimplementasikan
bushido dalam konteks kekinian.
Selamat membaca.[]
0 komentar:
Posting Komentar