Rabu, 05 Juli 2017

, , , ,

Menyelami Falsafah Hidup Samurai

Foto: Dok. Zakiya


Judul              : Hagakure; The Wisdom of Samurai
Penulis          : Yamamoto Tsunetomo
Penerjemah  : Ina Minasaroh
Penerbit         : ONCOR Semesta Ilmu
Tahun             : I, Januari 2012
Tebal              : xvii + 136 halaman
Resensator   : Zakiyatur Rosidah

“Samurai harus menumpuk baban yang berat berupa kesetiaan dan kepatuhan kepada orang tua di pundaknya, juga keberanian dan belas kasih di pundak yang satunya. Jika ia bertahan menanggung beban ini siang dan malam, ia tidak akan gagal dalam menjalankan tugasnya”.

 
Itulah sepenggal kalimat di bagian pengantar buku “Hagakure; The Wisdom of Samurai” yang menggambarkan kehidupan para samurai. Dilihat dari asal katanya, huruf kanji untuk samurai adalah yang berarti menunggu atau melayani. Para samurai memiliki sifat tangguh, totalitas, disiplin, dan bertangungjawab dalam mengemban tugasnya. Sejatinya, samurai adalah pengabdi, karena tidak ada hal lain yang penting atau sebeharga kesetiaan kepada junjungan.

Panggilan tertinggi bagi setiap samurai adalah memenuhi tugas apapun yang diberikan junjungannya tanpa mementingkan diri sendiri, termasuk hal yang dianggap remeh-temeh sekali pun. Bahkan mereka harus rela berkorban jika diperintahkan untuk melakukan seppuku (bunuh diri yang dilakukan dengan cara membelah perutnya, atau disebut juga harakiri).

Para samurai menjaga prinsip hidup yang luar biasa tersebut dengan berpegang teguh pada Bushido. Bushido terdiri dari tiga huruf Kanji; bu (perang), shi (orang), do (jalan). Bushido bisa diartikan sebagai jalan samurai atau semacam kode kehormatan dan aturan hidup bagi samurai yang lahir dari campuran Buddhisme, Chu-Tsu, Konfusius, dan Shinto yang secara resmi diperkenalkan pada abad ke-17.

Ada delapan prinsip bushido, yakni:
Jin—mengembangkan pemahaman supaya bersimpati kepada orang lain ,
Gi—menjaga etika yang benar,
Chu—menunjukkan kesetiaan kepada junjungannya,
Ko—menghormati dan menyayangi orang tua,
Rei—menghormati sesama,
Chi—meningkatkan kebijaksanaa dengan memperluas pengetahuan,
Shin—menjaga kejujuran sepanjang waktu,
Tei—mencintai orang tua dan siapa pun yang patut dikasihani.

Buku Hagakure berisi filsafat hasil perenungan Yamamoto Tsunetomo mengenai intisari ajaran bushido. Tsunetomo adalah samurai yang mengabdi pada Nabeshima Mitsushige, penguasa ketiga wilayah yang kini disebut Saga Prefecture.

Hagakure, yang berarti ‘bersembunyi di balik dedaunan’ ini menarik bukan hanya karena filsafat atau hikmah yang terkandung di dalamnya saja, baik dari yang bersifat dalam maupun keduniawian yang sifatnya absurd, lucu, dan membigungkan, tetapi juga karena konteks historis yang mejadi latar belakang penulisannya. Pertempuran Sekigahara antara pasukan Hideyoshi Toyotomi dan Ieyasu Tokugawa telah berakhir pada tahun 1600. Pasca pertempuran, keadaan berubah. Pada zaman Edo (1600-1868), Jepang berada dalam masa damai berkepanjangan yang belum pernah ada sebelumya. Selama kurang lebih 100 tahun tak ada samurai yang turun di medan perang, tidak ada lagi pertumpahan darah. Mereka hanya mengurusi tugas-tugas administratif. Pada masa inilah buku Hagakure; The Wisdom of Samurai ditulis.

Di buku ini, Tsunetomo berulangkali menceritakan kegelisahannya betapa semakin lemahnya para samurai kala itu, bahkan khawatir jika para samurai menjadi feminin. Oleh karena itu lah, Tsunetomo menceritakan kembali kisah-kisah teladan samurai terdahulu yang setia di jalan bushido. Tsunetomo juga mengritisi elemen-elemen yang ada pada masyarakatnya kala itu yang dirasa sudah tidak lagi memenuhi standar. Bagaimanapun Hagakure telah memberi standar kepada banyak samurai untuk menilai tindakan dan hidup mereka. Hagakure mendorong samurai untuk senantiasa berpegang pada prinsipnya, pada kebenaran, pada Bushido.

Buku 136 halaman ini sangat relevan untuk dibaca saat ini meskipun ditulis lebih dari 300 tahun silam karena buku ini sarat akan pengetahuan dan kebijaksanaan yang bisa diaplikasikan oleh siapapun. Hagakure telah memberi contoh-contoh paradigma seorang manusia tentang bagaimana seharusnya dunia ini. Ketika membaca Hagakure, kita akan menemukan banyak sekali perasaan dan pikiran kita yang terungkapkan dengan sangat jelas seolah-olah terwakili oleh kalimat demi kalimat dalam buku ini. Jika kita menganggap bahwa kata-kata tersebut telah lama ditulis dari sebuah negeri yang sepenuhnya terisolasi dari dunia luar, pasti kita akan menyadari pula bahwasanya pikiran samurai tidak terbatas waktu. Maka, tak ada salahnya untuk mengimplementasikan bushido dalam konteks kekinian.
Selamat membaca.[]

0 komentar:

Posting Komentar